Sering kita mendengar nasehat, “belajar itu bukan hanya dari sekolah.” Coach Doddy Eka Putra menegaskan, upgrade knowledge bukan sekadar mendengarkan guru, tetapi juga memperhatikan lingkungan—mengamati interaksi orang, gerakan kelinci saat dikejar, hingga strategi lalat saat dikejar. Tak jauh dari prinsip Rasululloh ﷺ yang mengajarkan untuk mengambil pelajaran dari alam sekitar, karena setiap kejadian membawa ilmu. Pembelajaran bukan hanya soal teori dan buku, namun menyerap pelajaran dari keseharian, menyadari pola yang hadir dan merekamnya melalui tulisan. Dengan menuliskan apa yang kita pelajari, kita mengikat pengetahuan itu dalam pikiran—menjadikannya lebih awet dan dapat direnungkan kembali.
Namun, sistem pendidikan formal seringkali hanya melatih kita untuk tunduk pada kurikulum dan standar, bukan kemampuan berpikir kritis. Memang benar sekolah membentuk komunitas untuk belajar, namun hanya 50% dari upgrade knowledge. Tony Wagner dalam Learning by Heart menyebut bahwa sekolah “tidak bisa satu ukuran untuk semua” karena karakter dan cara belajar tiap individu berbeda (amazon.com). Belajar lebih dari itu berarti menjelajahi dunia, mencoba hal baru, menulis pengalaman, serta memeriksa asumsi secara empiris. Pola ini mirip gerakan kelinci—reaktif, penuh insting, bukan sekadar mengikuti komando guru.
Beberapa buku best-seller lain memperkuat gagasan ini. Unschooling: Exploring Learning Beyond the Classroom menekankan bahwa pembelajaran sejati terjadi di luar kelas, dari keingintahuan sehari-hari (amazon.com). Learning Beyond the School juga menyoroti pentingnya informal learning dan self-directed learning—hacukan di mana kita membentuk jalur ilmu sendiri tanpa menunggu kelas berjalan . Hal ini sejalan dengan ajaran Coach Doddy: berpikir itu privilege, tetapi butuh track benar—ditopang metodologi dan kebiasaan merekam melalui tulisan, bukan hanya mengobrol soal asumsi di warkop.
Bagi mereka yang merasa “Saya cuma lulusan SMA” atau “Gak sekolah tinggi,” kisah Ibu Pudji Astuti jadi contoh nyata—lulusan SMA, bukan sarjana, namun membangun maskapai besar. Ini bukti bahwa sukses bukan monopoli gelar tinggi, tapi kunci berada pada iman, taqwa, komitmen untuk terus belajar, tanpa terjebak sistem—tapi tetap menghargai sekolah sebagai bagian awal proses. Oleh karena itu, seni belajar menulis adalah tindakan menyadarkan diri: menangkap pelajaran dari lingkungan, memprosesnya melalui tulisan sehingga melekat, lalu menetapkan standar bagi tindakan selanjutnya. Belajar bukan sekadar kata, tapi seni: Menjalani, Menangkap, Menulis, dan Menindaklanjuti—agar ilmu tidak hilang begitu saja, namun menjadi bekal untuk beraktivitas selaras Al‑Qur’an dan sunnah, dalam rangka hidup sukses dan barokah.
Konsultasi kebutuhan Upgrade Knowledge anda, dibantu tim Ulive Academy