<h2 id="3dd96fca-05f6-426e-bd1d-e714a01bf1de" data-toc-id="3dd96fca-05f6-426e-bd1d-e714a01bf1de">🔊 Reaksi Cepat, Emosi Kuat</h2>Pernahkah Anda membuka media sosial, lalu membaca komentar netizen soal kebijakan baru pemerintah? Belum juga baca isi berita, komentarnya sudah penuh dengan kata-kata marah, sarkas, bahkan hujatan. Misalnya saat ada aturan BBM subsidi harus pakai QR code. Tujuannya agar subsidi tepat sasaran. Tapi apa reaksi yang muncul? “Ribet! Pemerintah bikin susah rakyat.” Rating aplikasi langsung jeblok.Atau contoh lain, ketika seorang anak pejabat membagikan tips sukses di usia muda. Bukannya mendapat apresiasi, justru diserang. “Enak ngomong, kan anak orang kaya.” Padahal, sebagian tips yang dia bagikan sebenarnya masuk akal: jaga etika, bangun relasi, kerja keras, dan doa.Fenomena ini bukan sekadar soal benci atau tidak suka. Ada istilah psikologis yang pas: denial. Dalam konteks finansial, inilah yang disebut denial finansial – menolak kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan atau keyakinan kita.Sayangnya, sikap ini sering menghambat kita untuk berpikir jernih dan mengambil keputusan yang benar.<hr><h2 id="574a1b4f-d53c-434f-b1f3-ccf5a68f0732" data-toc-id="574a1b4f-d53c-434f-b1f3-ccf5a68f0732">Apa Itu Denial Finansial?</h2>Secara sederhana, denial finansial adalah ketika kita tahu ada masalah keuangan, ada solusi yang ditawarkan, tapi kita menolak mengakuinya. Alasannya bisa macam-macam: gengsi, emosi, malas, atau sekadar karena kita tidak suka dengan orang yang memberi saran.Contohnya:<ul><li>Utang menumpuk. Alih-alih mulai mencatat pengeluaran, seseorang bilang: “Saya nggak mau pusing mikirin angka. Yang penting jalan saja.”</li><li>Program makan bergizi gratis. Begitu ada isu keracunan (yang ternyata hoaks), langsung disalahkan programnya. Tidak terpikir bahwa mungkin masalah ada di eksekusi lapangan, bukan program itu sendiri.</li><li>Tips dari anak orang kaya. Karena datang dari figur “privilege”, langsung ditolak, meski isinya sebenarnya logis.</li></ul>Inilah bentuk penolakan realita. Akibatnya, kita lebih sibuk menghujat daripada mencari solusi.<hr><h2 id="96a32486-210c-46f0-aa48-54e5aa9a71bb" data-toc-id="96a32486-210c-46f0-aa48-54e5aa9a71bb">Mengapa Kita Mudah Terjebak?</h2>Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini sering terjadi di masyarakat:<ol><li>Rendahnya literasi. Data BPS tahun 2024 mencatat rata-rata lama sekolah orang Indonesia baru sekitar 9 tahun (setara SMP). Tidak heran, literasi keuangan dan literasi digital kita masih rendah. UNESCO bahkan menyebut minat baca orang Indonesia hanya 1 dari 1000 orang. Jadi wajar kalau lebih banyak yang komentar daripada riset.</li><li>Bias emosi. Saat sesuatu tidak sesuai ekspektasi, kita cenderung lebih dulu marah ketimbang berpikir. Ini yang membuat kolom komentar lebih panas daripada isi beritanya.</li><li>Pengalaman buruk. Mungkin dulu pernah lapor masalah ke instansi, tapi tidak direspons. Akhirnya muncul pikiran: “Percuma, toh pemerintah nggak peduli.” Dari situ tumbuh budaya sinis.</li><li>Negativity bias. Otak manusia lebih mudah fokus pada hal negatif daripada positif. Kalau ada 10 komentar, 9 positif dan 1 negatif, yang kita ingat biasanya yang negatif.</li></ol>Hasilnya? Kita cepat reaktif, lambat reflektif.<hr><h2 id="ca99aea7-d07b-4083-81a2-9e7d8cc53614" data-toc-id="ca99aea7-d07b-4083-81a2-9e7d8cc53614">Dampak Denial Finansial</h2>Sikap ini bukan hanya bikin suasana hati keruh, makin jauh dari apa yang kita impikan. Ada dampak nyata yang terasa:<ul><li>Masalah tidak selesai. Karena sibuk mengeluh, solusi tidak dijalankan. Utang tetap ada, pengeluaran tetap bocor.</li><li>Keputusan salah. Misalnya menolak registrasi subsidi BBM. Akhirnya tidak tercatat sebagai penerima, malah rugi sendiri.</li><li>Hubungan rusak. Masyarakat jadi tidak percaya pada pemerintah, pemerintah malas mendengar masyarakat. Sama-sama salah paham.</li><li>Stress finansial. Terus-menerus menolak realita bikin pikiran makin tertekan.</li></ul>Singkatnya, denial finansial hanya memperpanjang penderitaan.<hr><h2 id="68ca0f5f-cb22-470c-a505-239a151cb324" data-toc-id="68ca0f5f-cb22-470c-a505-239a151cb324">Bagaimana Mengubah Mindset Ini?</h2>Ada beberapa langkah yang bisa kita coba untuk keluar dari jebakan denial.<h3 id="52c34867-a073-4734-b7c5-0dc2f3d91f38" data-toc-id="52c34867-a073-4734-b7c5-0dc2f3d91f38">1. Belajar lebih banyak 📚</h3>Tidak perlu langsung S2 atau S3. Cukup mulai dari hal kecil: baca artikel keuangan, ikut kelas literasi finansial, atau diskusi dengan mentor. Ingat pepatah: “Orang sukses itu pembelajar seumur hidup.”<h3 id="8cf442d6-fa73-46d2-a51f-f4914ec18c51" data-toc-id="8cf442d6-fa73-46d2-a51f-f4914ec18c51">2. Latih jeda sebelum bereaksi ⏸️</h3>Saat ada berita atau saran, tahan dulu. Jangan buru-buru komentar. Tanyakan ke diri sendiri: “Apa yang bisa saya pelajari dari ini?”, “Apa hal baik yang bisa saya ambil?”<h3 id="6938cee7-cb59-41b2-bf5c-5256eb94a6c5" data-toc-id="6938cee7-cb59-41b2-bf5c-5256eb94a6c5">3. Ubah cara kritik 👍</h3>Boleh kritik, tapi sertakan solusi. Solusi bukan berarti coding atau tahapan yang sangat detil. Cukup deskripsikan masalah anda, lalu harapan anda seperti apa dari masalah itu. Misalnya: “Aplikasinya sering error di bagian registrasi, mohon diperbaiki agar login lebih cepat.” Daripada cuma tulis: “Aplikasinya jelek!”<h3 id="4f504823-7b21-4188-a857-dcac52e07bd0" data-toc-id="4f504823-7b21-4188-a857-dcac52e07bd0">4. Gunakan jalur resmi 📝</h3>Kalau ada masalah, laporkan lewat kanal resmi. Jangan hanya marah di medsos. Ingat, pemerintah bekerja berdasarkan data. Kalau tidak ada laporan, mereka tidak bisa bertindak. Tidak perlu menunggu orang-orang mengirimkan, atau menunggu ada yang terjawab. Kiriman yang masif dan punya konteks sama memudahkan mengatur prioritas mana yang perlu diselesaikan terlebih dulu.<h3 id="3e2fbfad-89e6-46b4-8f5d-b3a5884dcfb4" data-toc-id="3e2fbfad-89e6-46b4-8f5d-b3a5884dcfb4">5. Fokus pada apa yang bisa dikendalikan 🎯</h3>Kita tidak bisa kendalikan ekonomi global atau kebijakan besar. Tapi kita bisa kendalikan diri: cara belanja, cara nabung, cara berinvestasi, cara bereaksi terhadap perubahan, dll.<hr><h2 id="0cd08c89-8a79-48a8-a43b-e6e9e0fd3d00" data-toc-id="0cd08c89-8a79-48a8-a43b-e6e9e0fd3d00">Action Plan Sederhana</h2>Agar tidak terus terjebak denial finansial, Anda bisa coba langkah berikut minggu ini:<ul><li>Hari ini: Catat 3 pengeluaran terakhir Anda. Lihat apakah semuanya penting.</li><li>Besok: Pilih satu artikel atau video edukasi finansial, lalu ringkas dengan catatan sendiri.</li><li>Lusa: Coba diskusikan catatan itu dengan keluarga atau teman dekat.</li><li>Minggu depan: Jika ada kebijakan baru, coba pahami dari sumber resmi dulu, baru beri pendapat.</li><li>Setiap bulan: Sisihkan minimal 5-10% penghasilan untuk dana darurat.</li></ul><hr><h2 id="4ec25aef-8c3b-4a44-8b0a-37f145fb8912" data-toc-id="4ec25aef-8c3b-4a44-8b0a-37f145fb8912">Penutup</h2>Fenomena denial finansial adalah cermin bahwa kita sering menolak kenyataan pahit dengan cara menyalahkan pihak luar. Padahal, dengan sikap seperti itu, masalah tidak selesai.Kuncinya ada pada mindset: mau berpikir terbuka, mau belajar, dan mau ambil aksi kecil yang konsisten.Seperti kata Coach Doddy Eka Putra:<blockquote>“Berhenti fokus pada masalah, mulai fokus pada solusi. Finansial sehat lahir dari pikiran sehat.”</blockquote>Apakah artikel ini bermanfaat bagi Anda? Jika iya, mari sama-sama kita belajar lebih jauh. <a target="" rel="noopener noreferrer" href="https://app.uliveacademy.id/call-wecd">Ylive Academy </a>siap membantu Anda memahami literasi finansial syariah yang benar – agar kita semua bisa tumbuh menuju kehidupan finansial yang lebih stabil, halal, dan barokah.

Menolak sesuatu yang keliru, itu hak setiap orang. Yang penting anda tahu apa yang anda tolak, bukan hanya karena ikut-ikutan, apalagi karena kebencian.

Denial Finansial: Kenapa Kita Sering Menolak Kebenaran yang Pahit?

5. Fokus pada apa yang bisa dikendalikan 🎯

Learn how to grow and scale your online course business using our online course platform. EzyCourse blog is designed to teach you how to create and sell online courses.

Denial Finansial: Kenapa Kita Sering Menolak Kebenaran yang Pahit?

Denial Finansial: Kenapa Kita Sering Menolak Kebenaran yang Pahit?

Related Posts

Saham Syariah dan Toleransi Riba: Edukasi, Tantangan, dan Harapan

Memilah Berita Sensasional dengan Pikiran Kritis

Kunci Bangkit Finansial

Menjadi Serendah-rendahnya Koruptor

Menilik Mentalitas Subsidi Kelas Menengah: Antara Hemat dan “Siap Miskin”