Dalam kehidupan sehari-hari, terutama sebagai seorang Muslim, kata “rezeki” sangat sering kita dengar.
“Alhamdulillah, ini rezeki anak.”
“Nggak disangka, dapet orderan. Rezeki nomplok!”
“Beli kue 50, dikasih 60. Alhamdulillah, rezeki.”
Tapi...
Apakah betul semua itu rezeki yang halal? Apakah betul setiap “kelebihan” adalah berkah? Atau sebenarnya kita belum benar-benar kenal dengan rezeki?
Mari kita mulai dari kasus sederhana yang sering terjadi:
Tanpa berpikir panjang, Anda langsung bersyukur, “Alhamdulillah, rezeki!”
Padahal, dalam fiqih muamalah, transaksi jual beli adalah akad yang mengikat dua pihak secara sah. Tambahan kuantitas itu bukan bagian dari kesepakatan awal. Jika penjual memberi lebih secara sadar, maka itu bisa disebut hibah atau sedekah. Tapi jika itu kesalahan hitung, maka belum tentu halal, apalagi berkah.
“Jika dua orang saling melakukan jual beli, maka masing-masing memiliki hak pilih (menyelesaikan atau membatalkan transaksi) selama mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan menjelaskan kondisi barang, maka akan diberkahi jual belinya. Jika menyembunyikan dan berdusta, maka akan dihapus berkah dari jual belinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
📍 Intinya: berkah muncul dari kejujuran dan keterbukaan, bukan dari “kesempatan dalam kelengahan”.
Dalam Islam, kita diajarkan tabayyun (klarifikasi), bukan menganggap semua yang “untung” adalah halal. Maka, dalam kasus kue tadi, tindakan terbaik adalah:
Kembali ke penjual
Bertanya: “Tadi saya dihitungkan 50, tapi isinya 60. Apakah ini memang bonus, atau ada kekeliruan?”
Jika penjual ridho dan menyatakan itu bonus, maka itu menjadi rezeki yang halal
Jika tidak, kembalikan atau bayar selisihnya
Ini bukan berlebihan. Ini adab terhadap rezeki.
Kita sering mengira rezeki hanya tentang “banyak” dan “tiba-tiba”. Padahal, rezeki dalam Islam adalah:
“Segala sesuatu yang dimanfaatkan oleh manusia, baik berupa harta, ilmu, kesempatan, maupun waktu — yang datang dari Allah, melalui sebab yang halal.”
Jika datangnya dari cara yang tidak jelas, lalu kita tidak bersikap hati-hati, maka kita membuka pintu kepada sesuatu yang syubhat (meragukan), bahkan bisa jatuh pada yang haram.
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara yang samar (syubhat)... Maka barang siapa menjauhi perkara syubhat, sungguh ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Sekarang mari kita tarik ke konteks yang lebih besar: bagaimana rezeki bekerja dalam dunia bisnis dan investasi.
“Kalau dalam hal kue saja kita diminta tabayyun, bagaimana dengan bisnis bernilai jutaan bahkan miliaran?”
Keuntungan dari markup tidak wajar pada barang rusak
Komisi dari penjualan produk bohong
Cuan dari saham haram
Bonus dari kerja sama tanpa akad yang jelas
Hasil dari transaksi yang dijelaskan di awal dan jujur
Laba dari produk atau jasa yang bermanfaat
Dividen dari perusahaan yang menjalankan bisnis halal dan jelas
Gaji dari kerja yang dilakukan dengan integritas dan transparansi
Berikut ini tips membangun rezeki halal dan berkah secara konkret:
Setiap bisnis, bahkan yang sederhana, wajib ada kejelasan: siapa menjual apa, kepada siapa, dengan harga berapa, dan kewajiban masing-masing.
Misalnya: bisnis yang memanipulasi reseller untuk beli stok tak laku, investasi tanpa underlying (aset dasar), atau trading yang bersifat spekulatif dan berjudi.
Jika partner Anda atau klien Anda merasa tertipu, maka rezeki itu tidak akan berkah. Bisa jadi nominalnya besar, tapi hilang dalam bentuk kesehatan, keluarga, atau ketenangan.
Setiap uang masuk, pastikan ada jejak dan dasar. Jangan sampai ada pemasukan yang "tidak jelas dari mana", tapi Anda syukuri sebagai “rezeki nomplok”.
Sedekah dan zakat bukan hanya ibadah, tapi juga alat pembersih rezeki. Harta yang halal saja belum tentu berkah, tapi harta halal yang dibersihkan — insyaAllah penuh keberkahan.
Ia biasa memberi lebih pada pelanggan sebagai bonus. Suatu hari, seorang pembeli berkata: “Kok banyak ya, salah hitung?” Si penjual jawab, “Itu memang niat saya sebagai sedekah.”
Lalu, penjual itu mendapat pembeli tetap dari kantor di dekatnya yang memesan rutin untuk karyawan.
➡️ Bonus jujur menghasilkan keberkahan dan koneksi jangka panjang.
Ia dulu tergoda saham bank konvensional karena performanya bagus. Tapi setelah paham ilmunya, ia keluar dan memilih saham syariah meski cuannya kecil.
Ternyata, portofolio itu justru stabil di saat market jatuh.
➡️ Menghindari syubhat menyelamatkan aset jangka panjang.
Prinsip | Penjelasan |
---|---|
Rezeki bisa jadi ujian | Jika tidak disikapi dengan amanah dan tabayyun |
Rezeki bisa jadi berkah | Jika datang dari jalan yang halal dan jelas |
Tidak semua kelebihan itu halal | Perlu klarifikasi dan kejujuran |
Jangan menutup pintu keberkahan | Hanya karena merasa “semua orang juga begitu” |
Allah Maha Pemberi, tapi juga Maha Bijaksana.
Dia tidak akan memberikan rezeki melimpah, jika kita belum siap menjaga amanahnya.
Maka tugas kita bukan mengejar sebanyak-banyaknya, tapi memastikan bahwa yang sedikit pun cukup karena berkah.
“Boleh jadi kamu mengira itu rezeki, padahal itu istidraj (penundaan adzab).
Dan boleh jadi kamu mengira itu kesempitan, padahal itu pemurnian jiwa.”
Semoga Allah beri kita rezeki yang bukan hanya halal, tapi juga berkah, menenangkan, dan mendekatkan kita kepada-Nya. Aamiin.
📌 Ingin belajar membangun bisnis halal dan investasi syariah dari dasar?
Konsultasi dengan Tim Ulive, Ulive Academy siap mendampingi Anda menjemput rezeki yang halal, legal, aman, dan barokah — bukan hanya banyak, tapi juga penuh makna.