Pernah merasa harus beli kopi kekinian Rp35.000 padahal di rumah ada sachet kopi? Atau menganggap smartphone terbaru sebagai "kebutuhan kerja" padahal yang lama masih lancar jaya? Kita sering terjebak dalam ilusi "kebutuhan" yang sebenarnya adalah nafsu berbalut pembenaran. Dalam Islam, kebutuhan riil itu jelas: sandang-pangan-papan yang wajar, biaya ibadah, dan keluarga (QS 2:233). Sisanya? Imam Al-Ghazali bilang itu hawa nafsu yang pinter berkamuflase. Uniknya, survei Bank Indonesia (2023) menemukan 62% masyarakat menganggap "gadget upgrade" sebagai kebutuhan primer – padahal Nabi saw. pakai jubah bertambal pun tetap memimpin negara.
Mengelola finansial ala muslim itu seperti jadi “psikolog” untuk dompet sendiri. Pertama, bedakan "dharuriyyat" (pokok) dan "tahsiniyyat" (pelengkap). Uang sekolah anak? Pokok. Langganan Netflix? Tunggu dulu. Kedua, pakai filter "3T" dari Umar bin Khattab: Tanya ("Ini perlu atau pengen?"), Tunda (1-7 hari), Teliti (apakah ada alternatif lebih murah?). Contoh: Anda mungkin butuh motor untuk kerja, tapi apakah butuh variasi warna matte dengan velg racing? Salah satunya termasuk pokok, satunya pelengkap.
Jangan sampai uang anda “protes” karena cuma dipakai untuk hal-hal yang tidak perlu
"Dalam sepekan terakhir, berapa persen pengeluaran Anda yang benar-benar untuk kebutuhan hidup, bukan sekadar hidup untuk kebutuhan?"
Catatan:
- Hadis shahih: "Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika menyia-nyiakan orang yang harus ia nafkahi" (HR. Abu Dawud)
- Data OJK: 40% masyarakat tak bisa membedakan kebutuhan dan keinginan dalam pengeluaran bulanan